BOGOR : Sebanyak 70 saudara-saudari kita yang spesial dan istimewa , mengikuti misa Inklusi, yang berlangsung di Rumah Doa Bumi Maria Sareng Para Rasul (BMSPR), Paroki Santo Andreas. Minggu( 27/4).

Konsultan UBK Keuskupan Bogor, Fidelia Wardhani, mengatakan, misa Inklusi ini diselenggarakan oleh Seksi Mitra Perempuan Paroki Santo Andreas Sukaraja, dan merupakan yang pertama kali diadakan di Keuskupan Bogor.
Peserta misa Inklusi berasal dari Keuskupan Agung Jakarta, dan Keuskupan Bogor, yang diwakili oleh UBK dari Paroki Sukasari, Katedral Bogor, dan Paroki Santo Andreas.
Misa inklusi untuk saudara-saudari kita yang spesial dan istimewa tersebut diprakarsai oleh Fidelia Wardhani, yang terinspirasi dengan ujud dari tahun Peziarah Pengharapan mulai dari 27-29 April 2025, yaitu untuk semua saudara-saudari kita yang spesial dan istimewa.
Misa Inklusi dipimpin oleh RD. Lucius Joko, pewarta sabda dibawakan oleh Hendrikus Guana, pemazmur Ibu Dewi, doa umat oleh Enzio (Autism Spectrum Disorder).
Seluruh petugas liturgi (Pewarta Sabda, dan Pemazmur) merupakan umat spesial dan istimewa.
Selama misa berlangsung, menggunakan Interpreter JBI (Juru Bahasa Isyarat), agar umat yang mengalami gangguan dalam bicara dan pendengaran bisa mengikuti misa dengan khidmat.

Dalam homilinya Romo Joko menekankan bahwa gereja sudah seharusnya menerima saudara-saudari yang spesial dan istimewa, tidak mengkotak-kotakan atau pun menjauhi.
“Justru kita merangkul dan berjalan bersama seperti yang digaungkan dalam Peziarah Pengharapan menuju Gereja yang Sinodal,”pesan Romo Joko.
Sementara itu, Hendrikus Guana, salah satu Umat yang Istimewa menceritakan bahwa, ia mengalami kehilangan penglihatan akibat penyakit atau kelainan genetik yang disebut Retinitis Pigmentosa, yaitu gangguan retina yang diturunkan secara genetik dan menyebabkan rabun senja, gangguan penglihatan yang berkembang secara bertahap, dan akhirnya kebutaan.
Awalnya Hendrik merasa terpukul, marah sama Tuhan, dan sedih, disaat ia sudah mendapatkan pekerjaan yang bagus, justru
mengalami Retinitis Pigmentosa.
” Saat itu saya merasa terpuruk, tetapi berkat dukungan dari keluarga, doa yang dipanjatkan bersama, perlahan saya mulai menata kembali hidup saya, dan mulai merasa bahwa keberadaan saya berguna,” tuturnya
Hendrik mengisi hari-harinya dengan kegiatan membuat rosario, membantu dalam kuliner, dan membuat berbagai macam karya seperti rajutan. (*)